Kamis, 24 November 2011

sejarah sedayulawas lamongan

ada zaman dahulu kala, ada satu wilayah yang masih kosong dengan arti wilayah yang masih belum ada penduduknya. Wilayah ini masih berupa wilayah yang jauh dari orang – orang dan masih berupa hutan belantara yang sangat terkenal keangkerannya. Dengan demikian wilayah tersebut mendapat istilah “ Jalmo moro jalmo mati ” yang artinya siapa saja yang melewati atau memasuki wilayah hutan tersebut maka orang itu tidak akan bisa kembali. Dalam keadaan wilayah seperti itu, tidak ada seorang pun yang berani untuk mendekati wilayah tersebut. Akhirnya cerita tentang wilayah hutan itupun menyebar kemana-mana. Bahkan cerita itu sampai pada telinga seorang Raja Sri Sultan Tawang Alam adalah salah seorang raja dari Kerajaan Surakarta ( sekarang solo ) yang juga mendengar cerita tersebut.

Kemudian pada tahun 1463 Sri Sultan Tawang Alam memerintahkan atau menugaskan putra keponakannya yang bernama Soera Wikrama ke pesisir pantai utara laut jawa bagian timur, tepatnya di wilayah hutan belantara yang angker tersebut. Dan Soera Wikrama di angkat oleh Sri Sultan Tawang Alam menjadi seorang tumenggung. Ia diberi oleh raja Sri Sultan Tawang Alam dua piandel atau senjata ampuh. Dua piandel itu adalah :

1. Berupa pedang kangkam mas
2. Berupa gentong alias kendil

Kedua piandel tersebut hingga saat ini menjadi lambang atau simbol wilayah tersebut. Konon kabarnya kedua piandel tersebut juga masih tersimpan di gua Gunung Menjuluk yang tempatnya berada disebelah selatan wilayah tersebut.

Tumenggung Soera Wikrama di serahi Sultan Tawang Alam wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut adalah perbatasan di sebalah barat hingga mencapai desa palang dan di sebelah timur sampai ke kecamatan panceng. Perbatasan tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai perbatasan kabupaten Lamongan. Adapun wilayah Sri Sultan Tawang Alam meliputi 4 kabupaten. Keempat kabupaten tersebut adalah kabupaten Tuban, kabupaten Lamongan, kabupaten Gresik dan kabupaten Madura.

Setelah Sultan Tumenggung Soera Wikrama meninggal dunia, ia kemudian diganti dengan putranya yang bernama Raden Rangga Jaya Sasmita. Kemudian Raden Rangga Jaya Sasmita menikah dengan seorang putri dari madura yang bernama Dewi Supatmi. Dalam perkawinannya Raden Rangga Jaya Sasmita dengan Dewi Supatmi dikaruniai 3 putra, ketiga putra tersebut adalah Raden Kanjeng Badrun, Dewi Sukarsih dan Dewi Rara Tangis. Kemudian Raden Rangga Jaya Sasmita menikah lagi dengan seorang putri yang berasal dari desa Dandang kecamatan karanggeneng. Dalam perkawinannya mereka di karuniai seoarang putra yang diberi nama Raden Jamilun.
Dewi Rara Tangis anak ketiga Raden Rangga Jaya Sasmita yang sangat cantik.

Pada suatu hari Gajah Belang bermain - main disebelah timur wilayah pesisir pantai utara laut jawa yang tepatnya di Watu Awang. Ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik, gadis itu adalah Dewi Rara Tangis. Tentu saja sedikit banyak Gajah Belang akan memujinya bahkan lebih dari pada itu. Gajah Belang sangat terheran – heran melihat kecantikan Dewi Rara Tangis yang sangat alami. Meskipun Gajah Belang itu memiliki wajah yang sangat jelek, tetapi Gajah Belang mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa. Kemudian Gajah Belang pun jatuh cinta kepada Dewi Rara Tangis, begitu juga dengan Dewi Rara Tangisjuga jatuh cinta kepada Gajah Belang. Akhirnya cinta itu tumbuh subur dihati antara Gajag Belang dan Dewi Rara Tangis. Mereka berdua adalah pasangan yang seolah – olah tidak akan terpisahkan.

Dewi Rara Tangis adalah seorang putri yang sangat cantik sehingga tidak sedikit orang yang ingin memilikinya. Di tengah – tengah perjalanan cinta antara Gajah Belang dan Dewi Rara Tangis, ada seorang putra bangsawan yang berasal dari Tuban yang bernama Jaka Kuncir yang ingin memiliki dan meminang Dewi Rara Tangis. Begitu juga dengan Indra Soewarna putra dari Kiageng Rengel ( sambas ) juga ingin menjadi pendamping Dewi Rara Tangis untuk menjadi istrinya, tapi semua itu tinggallah impian saja. Dewi Rara Tangis tidak mencintai Indra Soewarna ataupun Jaka Kuncir, ia hanya mencintai Gajah Belang meskipun Gajah Belang memiliki wajah yang sangat jelek. Dewi Rara Tangis menolak kepada kedua putra bangsawan itu untuk dijadikan pendamping hidup karena selain Dewi Rara Tangis tidak mencintai mereka berdua, mereka berdua mempunyai kepercayaan yang berbeda, mereka beragama budha.

Raden Rangga Jaya Sasmita atau ayah Dewi Rara Tangis mengetahui hubungan anaknya dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita tidak memperbolehkan kepada anaknya Dewi Rara Tangis supaya tidak lagi berhubungan dengan Gajah Belang, karena wajah Gajah Belang yang sangat jelek. Gajah Belang juga merupakan seorang rakyat jelata yang tidak pantas mempunyai hubungan baik dengan seorang putrid Tumenggung. Raden Rangga Jaya Sasmita beranggapan bahwa hubungan antara Dewi Rara Tangis dengan Gajah Belang merupakan suatu penghinaan besar bagi diri Raden Rangga Jaya Sasmita, karena anaknya yang sangat cantik yang dikagumi banyak orang mencintai seorang pemuda yang berasal dari rakyat biasa atau bukan bangsawan.

Raden Rangga Jaya Sasmita bermaksud untuk menghancurkan hubungan antara Dewi Rara Tangis dengan Gajah Belang. Namun, segala usaha Raden Rangga Jaya Sasmita yang ingin memisahkan cinta yang terjalin antara Dewi Rara Tangis dan Gajah Belang tidak ada hasilnya. Bahkan mereka sangat dekat dan kuat menjaga hubungan mereka. Hingga berulang kali Raden Rangga Jaya Sasmita berusaha, namun semua itu sia – sia tidak ada hasilnya. Segala usaha Raden Rangga Jaya Sasmita itu tidak berhasil, ia ingin membunuh dengan cara yang licik. Raden Rangga Jaya Sasmita berhasil membunuh Gajah Belang. Dengan akal licik itu Gajah Belang terbunuh dengan sebuah panah yang diluncurkan ke arah dada Gajah Belang oleh Raden Rangga Jaya Sasmita ayah Dewi Rara Tangis. Anak panah yang ada di dada Gajah Belang tersebut kemudian diambil dengan di cabut oleh Raden Rangga Jaya Sasmita dan muncullah suatu keajaiban. Setelah di cabutnya anak panah tersebut mengalirlah darah Gajah Belang yang berwarna putih. Setelah melihat suatu keajaiban pada diri Gajah Belang, Raden Rangga Jaya Sasmita baru menyadari atas segala perbuatan yang ia perbuat yang selama ini mempunyai niat untuk memisahkan hubungan Dewi Rara Tangis anaknya dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita baru sadar bahwa perbuatan yang paling buruk selama hidupnya adalah perbuatan yang dilakukan kepada Gajah Belang.

Dewi Rara Tangis kemudian mengetahui segala perbuatan ayahnya yakni Raden Rangga Jaya Sasmita kepada Gajah Belang. Dewi Rara Tangis sangat sedih setelah mendengar kejadian yang selama ini tidak disangka. Sementara itu Raden Rangga Jaya Sasmita melihat anak gadisnya yang sedih, ia juga merasa bahwa membunuh Gajah Belang adalah suatu kesalahan yang sangat besar. Dewi Rara Tangis marah dengan ayahnya Raden Rangga Jaya Sasmita dan untuk itu Dewi Rara Tangis ingin segera untuk meninggalkan rumahnya dan juga keluarganya. Dewi Rara Tangis kemudian meninggalkan rumahnya dan pergi. Dalam kepergian Dewi Rara Tangis, Raden Rangga Jaya Sasmita beserta keluarganya sangat kecewa kehilangan seorang gadis yang sangat cantik yang mana Dewi Rara Tangis tidak akan kembali pulang untuk selamanya. Dewi Rara Tangis pergi dan tidak kembali pulang hanya untuk pergi bertapa untuk selama – lamanya. Dalam janjinya Dewi Rara Tangis akan berusaha untuk menjadi orang yang cantik untuk selama – lamanya. Dewi Rara Tangis pergi bertapa untuk selamanya hanya untuk mengenang Gajah Belang dan untuk menjadi orang yang cantik selama – lamanya. Dalam bahasa jawanya “ DADI WONG SING AYU SAK LAWAS – LAWASE atau SIDO AYU SAK LAWASE “. Kemudian wilayah itu mempunyai kisah tersendiri, dan untuk itu orang – orang yang ada disekitar wilayah tersebut akan mengenang dan mengabadikan menjadi nama atau sebutan untuk sebuah daerah dengan kata “ DESA SEDAYULAWAS “.

Dengan demikian nama SEDAYULAWAS hingga saat ini masih abadi dengan sebuah desa yang aman dan makmur dalam kehidupan penduduknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar